Sabtu, 21 September 2013

Pemerintahan kota padang

Masa kolonial Balai Kota Padang tempo dulu Pertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Meskipun mekanisme dan kegiatan pemerintahan telah bertambah maju, namun pemerintahan Hindia Belanda yang mencakup kepulauan yang terpencar-pencar dan saling berjauhan itu tidak dapat terawasi secara efektif. Keadaan tersebut akhirnya menyebabkan warga kolonial menginginkan pemodelan urusan pemerintahannya sebagaimana model di negeri Belanda sendiri, yaitu sistem kekotaprajaan yang diperintah oleh seorang wali kota dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 1906, berdasarkan ordonansi (STAL 1906 No.151) yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz sistem pemerintahan desentralisasi mulai diperkenalkan di Hindia Belanda. Sejak 1 April 1906 termasuk Kota Padang telah berstatus gemeente (kota), yang kemudian diiringi dengan pembentukan Dewan Kotapraja. Tugas utamanya adalah perbaikan tingkat kesehatan masyarakat dan transportasi, termasuk penanganan masalah-masalah bangunan, pemeliharaan jalan dan jembatan serta penerangan jalan-jalan, begitu pula pengontrolan sanitasi, kebersihan selokan dan sampah-sampah, pengelolaan persediaan air, pengelolaan pasar dan rumah potong, perluasan kota dan kawasan pemukiman, tanah pekuburan, dan pemadam kebakaran.[61] Pada tahun 1928 Mr. W.M. Ouwerkerk dipilih sebagai Burgemeester (wali kota) yang memerintah Kota Padang hingga tahun 1940. Ia kemudian digantikan oleh D. Kapteijn sampai masuknya tentara pendudukan Jepang tahun 1942. Dalam meningkatkan layanan pemerintahan pada tahun 1931 dibangunlah gedung Gemeente Huis (Balai Kota) dengan arsitektur gaya balai kota Eropa berciri khas sebuah menara jam yang berlokasi di Jalan Raaffweg (sekarang Jalan Mohammad Yamin, Kecamatan Padang Barat). Awal kemerdekaan Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai wali kota pertama Kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda,[62] yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara.[63] Pada tanggal 15 Agustus 1946 dipilih Bagindo Azizchan sebagai wali kota kedua,[64] atas usulan Residen Mr. St. M. Rasjid,[65][66] seiring dengan keadaan negara dalam situasi darurat perang akibat munculnya agresi Belanda. Kemudian pada tanggal 19 Juli 1947, Belanda melancarkan sebuah serangan militer dalam Kota Padang. Bagindo Azizchan yang waktu itu berada di Lapai ikut tewas terbunuh sewaktu menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan Kota Padang.[67] Untuk menghindari kekosongan pemerintahan, Said Rasad dipilih sebagai pengganti, dan menjadi Walikota ketiga. Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Padangpanjang.[22] Namun, pada bulan September 1947, Belanda menunjuk Dr. A. Hakim, untuk menjadi walikota Padang.[22] Pada awal tahun 1950-an, sewaktu Dr. Rasidin menjadi wali kota Padang, ia mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan becak sebagai sarana transportasi angkutan umum di Kota Padang, karena dianggap kurang manusiawi.[22] Kemudian pada tahun 1956 B. Dt. Pado Panghulu, seorang penghulu dari Kota Bukittinggi, terpilih sebagai walikota Padang berikutnya.[62] Tidak lama kemudian, pecah ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ketegangan memuncak pada tanggal 15 Februari 1958, dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan. Selanjutnya, PRRI yang dianggap sebagai pemberontak[68] oleh pemerintah pusat dihancurkan dengan pengiriman kekuatan militer terbesar yang tercatat dalam sejarah Indonesia.[69] Akibat peristiwa ini juga, terjadi eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain.[70] Setelah PRRI pada tanggal 31 Mei 1958, Z. A. St. Pangeran dilantik menjadi wali Kota Padang yang ketujuh, dengan setumpuk beban berat. Selain melanjutkan pembangunan, ia juga harus memulihkan kondisi psikologis masyarakat yang tercabik akibat perang saudara.[70] Namun pada pertengahan tahun 1966, dia dipaksa mundur dari jabatannya oleh para mahasiswa.[23] Orde Baru dan otonomi daerah Gedung DPRD Kota Padang Setelah runtuhnya demokrasi terpimpin pasca Gerakan 30 September, dan kemudian muncul istilah Orde Baru, pada tahun 1966, Drs. Azhari ditunjuk menjadi wali kota oleh pihak militer menggantikan wali kota sebelumnya yang dianggap cendrung berpihak kepada PKI waktu itu.[23][60] Pada tahun 1967, ia digantikan oleh Drs. Akhiroel Yahya sebagai wali kota berikutnya.[13] Pada tahun 1971, Drs. Hasan Basri Durin ditunjuk menjadi pejabat wali kota mengantikan wali kota sebelumnya. Tahun 1973 dia terpilih menjadi wali kota definitif, memimpin Kota Padang selama dua periode sampai tahun 1983,[71] sebelum digantikan oleh Syahrul Ujud S.H.,[72] yang menjadi wali Kota Padang selama dua periode berikutnya. Selanjutnya, pada tahun 1993, terpilih seorang mantan wartawan Drs. Zuiyen Rais, M.S.,[73] yang juga memimpin Kota Padang selama dua periode sampai pada tahun 2003. Dalam suasana reformasi pemerintahan dan era otonomi daerah, Drs. Fauzi Bahar, M.M, terpilih kembali pada tahun 2009 untuk masa jabatan kedua kalinya sebagai wali Kota Padang dalam pemilihan langsung pada kali pertama, sedangkan pada masa jabatan sebelumnya pada tahun 2004 dia masih dipilih melalui sistem perwakilan di DPRD kota.[74] Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada tanggal 18 April 2011, pusat pemerintahan Kota Padang secara resmi dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah.[75] Di samping untuk mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di timur dan utara kota, pemindahan ini juga dilakukan mengingat lokasi pusat pemerintahan kota sebelumnya berada pada zona yang dikategorikan bahaya terhadap kemungkinan terjadinya bencana tsunami.[76] Kompleks pusat pemerintahan dibangun di kawasan eks Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Air Pacah dan mulai diresmikan penggunaannya pada 30 September 2013.[77] Perwakilan Sesuai dengan konstitusi yang berlaku, DPRD kota merupakan perwakilan rakyat. Untuk Kota Padang, anggota DPRD kota adalah sebanyak 45 orang.[74] Pengaruh reformasi politik dan pemerintahan juga membawa perubahan peta politik di Kota Padang. Walaupun sebelumnya pada pemilu periode 1999-2004, anggota DPRD Kota Padang masih didominasi oleh partai Golkar, selanjutnya pemilu legislatif 2004-2009, seiring dengan perubahan beberapa regulasi penyelenggaraan otonomi daerah, PAN mulai mengerogoti dominasi partai Golkar dan secara bersama menguasai parlemen kota.[78] Kemudian dari hasil pemilu legislatif 2009-2014, tersusun DPRD Kota Padang dari perwakilan sembilan partai.[79] Partai Demokrat muncul sebagai kekuatan baru yang mendominasi DPRD Kota Padang, sekaligus mendapat jatah otomatis pada posisi ketua DPRD Kota Padang berdasarkan UU nomor 27 tahun 2009.[80]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar